Kamis, 24 November 2011

BUDAYA ORGANISASI DI SEKOLAH

a.      Pengertian Budaya Organisasi
Dalam budaya organisasi ditandai adanya sharing atau berbagi nilai dan keyakinan yang sama dengan seluruh anggota organisasi. Misalnya berbagi nilai dan keyakinan yang sama melalui pakaian seragam. Namun menerima dan memakai seragam saja tidaklah cukup. Pemakaian seragam haruslah membawa rasa bangga, menjadi alat kontrol dan membentuk citra organisasi. Dengan demikian, nilai pakaian seragam tertanam menjadi basic. Menurut Sathe dalam Taliziduhu Ndraha (1997) bahwa shared basic assumptions meliputi : (1) shared things; (2) shared saying, (3) shared doing; dan (4) shared feelings.
Budaya organisasi dapat dipandang sebagai sebuah sistem. Mc Namara (2002) mengemukakan bahwa dilihat dari sisi in put, budaya organisasi mencakup umpan balik (feed back) dari masyarakat, profesi, hukum, kompetisi dan sebagainya. Sedangkan dilihat dari proses, budaya organisasi mengacu kepada asumsi, nilai dan norma, misalnya nilai tentang : uang, waktu, manusia, fasilitas dan ruang. Sementara dilihat dari out put, berhubungan dengan pengaruh budaya organisasi terhadap perilaku organisasi, teknologi, strategi, image, produk dan sebagainya.
Budaya yang strategis cocok secara eksplisit menyatakan bahwa arah budaya harus menyelaraskan dan memotivasi anggota, jika ingin meningkatkan kinerja organisasi. Konsep utama yang digunakan di sini adalah “kecocokan”. Jadi, sebuah budaya dianggap baik apabila cocok dengan konteksnya. Adapun yang dimaksud dengan konteks bisa berupa kondisi obyektif dari organisasinya atau strategi usahanya.

b.      Pengembangan Budaya Organisasi Di Sekolah
Secara umum, penerapan konsep budaya organisasi di sekolah sebenarnya tidak jauh berbeda dengan penerapan konsep budaya organisasi lainnya. Kalaupun terdapat perbedaan mungkin hanya terletak pada jenis nilai dominan yang dikembangkannya dan karakateristik dari para pendukungnya.
Nilai-nilai yang dikembangkan di sekolah, tentunya tidak dapat dilepaskan dari keberadaan sekolah itu sendiri sebagai organisasi pendidikan, yang memiliki peran dan fungsi untuk berusaha mengembangkan, melestarikan dan mewariskan nilai-nilai budaya kepada para siswanya. Dalam hal ini, Larry Lashway (1996) menyebutkan bahwa “schools are moral institutions, designed to promote social norms,…” .
Nilai-nilai yang mungkin dikembangkan di sekolah tentunya sangat beragam. Jika merujuk pada pemikiran Spranger sebagaimana disampaikan oleh Sumadi Suryabrata (1990), maka setidaknya terdapat enam jenis nilai yang seyogyanya dikembangkan di sekolah. Dalam tabel 1 berikut ini dikemukakan keenam jenis nilai dari Spranger beserta perilaku dasarnya.


Tabel 1. Jenis Nilai dan Perilaku Dasarnya menurut Spranger
No
Nilai
Perilaku Dasar
1
Ilmu Pengetahuan
Berfikir
2
Ekonomi
Bekerja
3
Kesenian
Menikmati keindahan
4
Keagamaan
Memuja
5
Kemasyarakatan
Berbakti/berkorban
6
Politik/kenegaraan
Berkuasa/memerintah
Sumber : Modifikasi dari Sumadi Suryabrata. 1990. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Rajawali

Sebagaimana telah digambarkan dalam pengetian  di atas bahwa budaya sekolah terdiri dari sejumlah norma-norma, ritual, keyakinan, nilai-nilai, sikap dan kebiasaan yang terbentuk dalam sekolah. Bentuk budaya sekolah secara intrinsik muncul sebagai suatu fenomena yang unik dan menarik, karena pandangan sikap, perilaku yang hidup dan berkembang dalam sekolah pada dasarnya mencerminkan kepercayaan dan keyakinan yang mendalam dan khas dari warga sekolah.
Lebih khusus lagi Hedley Beare mendeskripsikan unsur-unsur budaya sekolah dalam dua kategori, yakni unsur kasat mata dan unsur yang tidak kasat mata. Unsur yang kasat mata mempunyai makna kalau barkaitan atau mencerminkan apa yang tidak kasata mata. Yang tidak kasat mata itu adalah filsafat atau pandangan dasar sekolah mengenai kenyataan yang luas, makna hidup atau yang di anggap penting dan harus diperjuangkan oleh sekolah. Dan itu harus dinyatakan secara konseptual dalam rumusan visi, misi, tujuan dan sasaran yang lebih kongkrit yang akan di capai oleh sekolah. Sedangkan unsur yang kasat mata dapat termenifestasi secara konseptual  yang meliputi : 1) visi,misi, tujuan dan sasaran, 2) kurikulum, 3) bahasa komunikasi, 4) narasi sekolah, 5) narasi tokoh-tokoh, 6) struktur organisasi, 7) ritual, 8) upacara, 9) prosedur belajar mengajar, 10)peraturan sistem ganjaran/ hukuman, 11) layanan psikologi sosial, 12) pola interaksi sekolah dengan orang tua, masyarakat dan yang meteriil dapat berupa : fasilitas dan peralatan, artifiak dan tanda kenangan serta pakaian seragam.
Djemari Mardapi (2003) membagi unsur-unsur budaya sekolah jika ditinjau dari usaha peningkatan kualitas pendidikan sebagai berikut :
a.       Kultur sekolah yang positif
Kultur sekolah yang positif adalah kegiatan-kegiatan yang mendukung    peningkatan kualitas pendidikan, misalnya kerjasama dalam mencapai prestasi, penghargaan terhadap prestasi, dan komitmen terhadap belajar.
b.      Kultur sekolah yang negatif
Kultur sekolah yang negatif adalah kultur yang kontra terhadap peningkatan mutu pendidikan. Artinya resisten terhadap perubahan, misalnya dapat berupa: siswa takut salah, siswa takut bertanya, dan siswa jarang melakukan kerja sama dalam memecahkan masalah.
c.       Kultur sekolah yang netral
Yaitu kultur yang tidak berfokus pada satu sisi namun dapat memberikan konstribusi positif tehadap perkembangan peningkatan mutu pendidikan. Hal ini bisa berupa arisan keluarga sekolah, seragam guru, seragam siswa dan lain-lain.

c.       Peran Kultur Sekolah dalam Pembentukan Kinerja Sekolah
Dalam terminologi kebudayaan, pendidikan yang berwujud dalam bentuk lembaga atau instansi sekolah dapat dianggap sebagai pranata sosial yang di dalamnya berlangsung kegiatan tertentu yaitu interaksi antara pendidik dan peserta didik sehingga mewujudkan suatu sistem nilai atau keyakinan, norma juga kebiasaan yang di pegang bersama. Pendidikan sendiri adalah suatu proses budaya. Masalahnya sekarang adalah nilai-nilai yang mana yang seharusnya dikembangkan atau dibudayakan dalam proses pendidikan yang baerbasis mutu itu. Dengan demikian sekolah menjadi tempat dalam mensosialisasikan nilai-nilai budaya yang tidak hanya terbatas pada nilai-nilai keilmuan saja, melainkan semua nilai-nilai kehidupan yang memungkinkan mampu mewujudkan manusia yang berbudaya.
Dalam hal ini masih menurut Djemari (2003) karekteristik peran kultur sekolah berdasarkan sifatnya dapat dibedakan menjadi tiga yakni :
a.       Bernilai Strategis
Adalah kultur yang dapat berimbas dalam kehidupan sekolah secara dinamis. Misalnya memberi peluang pada warga sekolah untuk bekerja secara efisien, disiplin dan tertib. Kultur sekolah merupakan milik kolektif bukan milik perorangan, sehingga budaya sekolah dapat dikembangkan dan dilakukan oleh semua warga sekolah.
b.      Memiliki Daya Ungkit
Kultur yang memliki daya gerak akan mendorong semua warga sekolah untuk berprestasi, sehingga kerja guru dan semangat belajar siswa akan tumbuh bilamana dipacu dan di dorong, dengan dukungan budaya yang memiliki daya ungkit yang tinggi. Misalnya kinerja sekolah dapat meningkat jika disertai dengan imbalan yang pantas, penghargaan yang cukup, dan proporsi tugas yang seimbang. Begitu juga dengan siswa akan meningkat semangat belajranya, bila mereka diberi penghargaan yang memadai, pelayanan yang prima, serta didukung dengan sarana yang memadai.
c.       Berpeluang Sukses
Budaya yang berpeluang sukses adalah budaya yang meiliki daya ungkit dan memiliki daya gerak yang tinggi. Hal ini sangat penting untuk menumbuhkan rasa keberhasilan dan rasa mampu  untuk melaksanakan tugas dengan baik. Misalnya budaya gemar membaca. Budaya membaca di kalangan siswa akan dapat mendorong mereka untuk banyak tahui tentang berbagai macam persoalan yang mereka pelajari di lingkungan sekolah. Demikian juga bagi guru mereka semakin banyak pengetahuan yang diperolah, tingkat pemahaman semakin luas, semua ini dapat berlangsung jika disertai dengan kesadaran, bahwa mutu/ kualitas yang akan menentukan keberhasilan seseorang.

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa pendekatan budaya sesungguhnya menekenkan pada kedalaman yaitu unsur budaya dari organisasi itu, yang memberi petunjuk, warna, dan gaya pada diri setiap individu sekolah, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja mereka. Lebih khusus lagi budaya sekolah yang tercermin dalam bentuk mitos, ritual, kebiasaan, simbolisme, kepercayaan, dan sebagainya menjadi pengikat bagi setiap siswa yang akan menimbulkan motivasi dan semangat belajar serta kreatifitas mereka.
Kultur organisasi menggunakan dua pendekatan : (1) variabel kultur, dan (2) pembentukan rasa. Pendekatan variabel kultur ialah pendekatan yang menggunakan atribut-atribut kultur kunci dari organisasi yang mempengaruhi hasil organisasi. Atribut ini antara lain, gaya kepemimpinan, iklim oganisasi, dan konflik. Pendekatan pembentukan rasa ialah pendekatan kultur sebagai esensi organisasi, yaitu kultur yang anggotanya memiliki kebersamaan interprestasi kolektif terhadap realitas sosial. Kerangka interprestasi yang ada dalam kultur organisasi bersama-sama membentuk tema-tema ini mempengaruhi sikap dan nilai-nilai anggotanya.
Perilaku anggota dalam  organisasi tersebut diarahkan oleh kulturnya, sebagai contoh di dunia pendidikan, sebagai pusat  pengembangan kultur profesional dengan membiasakan anggota organisasinya agar terbentuk perilaku sekolah yang berkarateristik: (a) berdisiplin tinggi, (b) melaksanakan pekerjaan dengan mutu yang testandar (tidak asal jadi, (c) melaksanakan kegiatan administrasi secara efektif,  (d) penampilan sekolah yang bersih, rapi, indah dan menraik (e) setiap siswa harus bangga dengan sekolahnya, dan setiap guru bangga dengan profesinya sebagai guru di sekolah yang bersangkutan. Prinsip yang akan dikembangkan untuk mencapai  ini adalah ing ngarso sung tuludo. Siswa tidak mungkin berdisiplin, kalau gurunya sendiri tidak disiplin, dan guru tidak akan berdisiplin kalau kepala sekolahnya tidak disiplin  (Anonim 1994).
Berdasarkan kultur di atas maka jelas bahwa tujuan tiap sekolah  bukan hanya tempat mandapatkan ilmu pengatahuan belaka, tetapi juga sebagai pusat pengembangan sikap dan budaya profesional. Budaya profesional ialah perilaku yang: taqwa, melaksanakan mutu yang mampu bersaing, tahu apa yang harus dikerjakan, tahu mutu pelayanan, tahu dasar kemampuan minimal yang harus dimiliki, dan bagaimana cara mengerjakan dengan sebaik-baiknya,  tahu mengerjakan dengan mutu terbaik,  tahu mengapa dikerjakan dikerjakan dengan cara seperti itu, tahu melaksanakan kegiatan adminstrasi secara efektif dan efisien. (produktif)  dan mampu menampilkan sekolah yang tertib, efektif, luwes, efisien dan rapi.

1.      Tujuan
Sebagai wujud dalam bentuk lembaga atau instansi, sekolah merupakan pranata sosial yang di dalamnya berlangsung kegiatan tertentu yaitu interaksi antara pendidik dan peserta didik sehingga budaya organisasi di sekolah bertujuan untuk mewujudkan suatu sistem nilai atau keyakinan, norma juga kebiasaan yang di pegang bersama, dimana pendidikan itu sendiri adalah suatu proses budaya.

2.      Masalah
Masalahnya adalah nilai-nilai yang mana yang seharusnya dikembangkan atau dibudayakan dalam proses pendidikan yang berbasis mutu itu. Dengan demikian sekolah menjadi tempat dalam mensosialisasikan nilai-nilai budaya yang tidak hanya terbatas pada nilai-nilai keilmuan saja, melainkan semua nilai-nilai kehidupan yang memungkinkan mampu mewujudkan manusia yang berbudaya.
3.      Pemecahan
Oleh karena dalam sebuah terdiri dari banyak elemen, maka diantara satu elemen dengan elemen lain harus dapat bisa saling mengisi. Dalam hal ini, guru atau secara khusus kepada Kepala Sekolah mempunyai peranan  penting dalam mengarahkan budaya mesti dikembangkan dan budaya mesti dibuang jauh-jauh dari lingkungan sekolah. Siswa tidak mungkin berdisiplin, kalau gurunya sendiri tidak disiplin, dan guru tidak akan berdisiplin kalau kepala sekolahnya tidak disiplin  (Anonim 1994).
Berkenaan dengan itu, standar perilaku guru tentunya erat kaitannya dengan standar kompetensi yang harus dimiliki guru, yang akan menopang terhadap kinerjanya. Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional, pemerintah telah merumuskan empat jenis kompetensi guru sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yaitu : (1) Kompetensi pedagogik yaitu merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang meliputi: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman terhadap peserta didik; (c) pengembangan kurikulum/ silabus; (d) perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; (f) evaluasi hasil belajar; dan (g) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya; (2) Kompetensi kepribadian yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang: (a) mantap; (b) stabil; (c) dewasa; (d) arif dan bijaksana; (e) berwibawa; (f) berakhlak mulia; (g) menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat; (h) mengevaluasi kinerja sendiri; dan (i) mengembangkan diri secara berkelanjutan; (3) Kompetensi sosial yaitu merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk : (a) berkomunikasi lisan dan tulisan; (b) menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; (c) bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik; dan (d) bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar; dan (4) Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar; (b) materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (c) hubungan konsep antar mata pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan (e) kompetisi secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya nasional.
Referensi: 
-Sudrajat,Akhmad .2008.Budaya Organisasi Di sekolah. 
-http://www.sedl.org/change/school/ culture/html

Baca pula:


0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan komentarnya dong...