Selasa, 10 Agustus 2010

Puasa dengan persembahan untuk Tuhan


Seorang anggota jemaah –sebut saja Fatimah- mengadu kepadaku, “Setiap kali masuk Ramadhan, saya merasa sedih. Saya bertambah sedih karena saya merasa sedih. Bukankah kata pak Ustaz, Rasulullah dan sahabatnya menyambut Ramadhan dengan gembira.” Matanya berkaca-kaca dan hidungnya memerah. Aku yakin ia menangis beneran. Betapa sering aku menemukan dalam majlis-majlis pengajian ustaz yang menangis bohongan dan pendengar yang menangis beneran.
“Apa yang menyebabkan ibu menangis?” tanyaku
“Saya seperti orang pulang kampung. Saya ingin membahagiakan keluarga saya. Saya ingin memberikan hadiah paling berharga buat mereka. Tetapi saya miskin. Saya tidak punya apa-apa yang berarti. Yang teronggok di punggung saya hanya kotoran. Ramadhan mengantarkan saya kepada Tuhan, kampung halamanku. Saya ingin membuat Tuhan rido kepadaku. Tetapi saya tidak membawa apa-apa. Di atas punggung saya teronggok dosa dan dosa!” Isakannya makin keras. Giliran ustaz untuk ikut menangis; dan kali ini, menangis beneran.
“Tidak perlu bersedih, Bu,” kataku setengah hati. Setengah hatiku membisu dalam kesedihan. “Jika kita menemui Ramadhan tanpa bekal, marilah kita jadikan bulan ini untuk mengumpulkan hadiah-hadiah yang berharga untuk Tuhan. Jika kita datang dengan onggokan dosa, marilah kita campakkan dosa-dosa itu dengan taubat kita.” Seperti biasa, dengan cepat aku bermetamorfosa dari seorang konselor menjadi khotib. Tampaknya lebih mudah berkhotbah daripada berempati.
“Itu juga menambah dukaku, ustaz. Setiap Ramadhan ketika semua orang berusaha untuk tarawih setiap malam, saya sering meninggalkannya. Ketika tetangga-tetangga bercerita bahwa mereka sudah menyelesaikan sekian juz al-Quran, saya gak bisa ngomong. Satu juz pun tidak sempat saya baca. Pada malam Lailatul Qadar, kawan-kawan saya bisa bermalam-malam iktikaf di masjid, bahkan ada berumrah ke tanah suci, saya tidak sanggup meninggalkan pekerjaan saya?”
“Apa pekerjaan ibu di bulan Ramadhan?”
“Saya ini orang kaya, tumbuh besar dalam keluarga kaya. Di rumah saya punya banyak pembantu dan di kantor saya punya banyak pegawai. Ke mana pun saya pergi saya dilayani orang. Pada bulan puasa, saya ingin melayani orang. Saya ingin berkhidmat pada orang-orang kecil. Saya menyiapkan makanan untuk orang-orang miskin. Saya berbelanja, memasak, membungkus, dan mengantarkan makanan itu ke rumah-rumah mereka. Bakda Isya, setelah usai membagikan makanan, saya pulang dalam keadaan lelah. Saya segera tidur pulas. Pada Lailatul Qadar, saya bukan saja membagikan makanan untuk buka tetapi juga untuk sahur. Saya bergadang juga, ustaz, cuma tidak di masjid. Tapi di tempat-tempat kumuh.
Jadi, pada waktu Id, ketika kaum muslim yang lain bergembira karena bisa mengumpulkan hadiah yang berharga untuk Tuhan –khatam Al-Quran, lengkap salat tarawih, banyak iktikaf dan berzikir- saya sedih lagi. Mereka berhasil “menangkap” anugrah Tuhan di bulan Ramadhan; saya tidak!”
Puasa dengan perkhidmatan
Ibu Fatimah merasa sedih karena ibadat Ramadhannya berbeda dengan kebanyakan orang. Ia sedih karena tidak sanggup dan tidak sempat bertarawih, bertadarus, beriktikaf dan berzikir bersama. Ia menganggap bahwa hadiah yang paling berharga untuk Tuhan adalah ibadat, dalam makna ritual.
Alkisah, Nabi Musa bermunajat kepada Tuhan. Sang Mahasuci bertanya, “Hai Musa, banyak sekali ibadatmu, yang mana untukKu?” Musa terkejut mengapa Dia bertanya tentang ibadatnya, sebab semuya ibadatnya untuk Tuhan: “Salatku, hajiku, korbanku, doa dan zikirku.” Semuanya untuk kamu, mana untukku? Musa bingung dan berkata: “Tunjukkan pada hambamu yang lemah ini, mana ibadatku untukMU!” Berkhidmatlah kepada hamba-hambaKu!
Bagus sekali, memang, kalau kita dapat menjalankan ibadat-ibadat itu dengan sebaik-baiknya. Semuanya untuk kita juga. Seperti disebutkan dalam hadis, dengan berpuasa dan salat tarawih yang ikhlas, kita memperoleh ampunan Allah swt. Ampunan itu jelas untuk kita. Dengan membaca satu ayat Al-Quran saja di bulan Ramadhan, kita memperoleh pahala sama dengan mengkhatam Al-Quran di bulan lain. Anugrah Tuhan karena mengkhatam Al-Quran diberikan kepada kita. Ibadat pada Lailatul Qadar sama nilainya dengan ibadat seribu bulan. Pahalanya lagi-lagi untuk kepentingan kita.
Ibu Fatimah merasa sedih karena Ramadhan mengantarkannya untuk pulang kepada Tuhan. Ia ingin memberikan hadiah untuk membuat Tuhan rido kepadanya. Ia merasa bahwa hadiah berupa salat, tadarus dan sebagainya itu adalah persembahan untuk Tuhan. Sekiranya ia banyak melakukan ibadat-ibadat itu, nun di sana di ‘arasy yang agung, Tuhan akan berkata: Semuanya untuk kamu, mana untukKu. Memang kita memerlukan semua anugrah itu: kasih sayang Tuhan, ampunannya, dan pembebasan dari api neraka. Kita membutuhkan karuniaNya untuk kebahagiaan kita di dunia dan akhirat.
Tetapi Ibu Fatimah memerlukan lebih dari itu. Ia ingin melakukan sesuatu untuk Dia. Ia ingin memberiNya hadiah yang berharga. Ketahuilah, hai Fatimah –sekiranya Anda membaca artikel ini- Anda sudah berada on the right track. Berkhidmatlah kepada hamba-hambaNya. Sekiranya Anda sedih karena beranggapan Anda tidak sempat salat tarawih yang lengkap sehingga kehilangan ampunan Tuhan, simaklah hadis qudsi berikut ini (Lihat Hasan Syirazi, Kalimat Allah, hal. 232):
“Hai Musa, tahukah kamu betapa besarnya kasih sayangKu padamu?”
“Engkau lebih sayang padaku ketimbang ibuku”
“Hai Musa, seungguhnya ibumu menyayangi kamu karena anugrah kasihKu jua. Akulah yang melembutkan hatinya sehingga ia sayang padamu. Akulah yang membaikkan hatinya supaya ia meninggalkan kebaikan tidurnya untuk merawatmu. Sekiranya aku tidak melakukannya, maka akan samalah ibumu dengan perempuan lainnya di dunia.
Hai Musa, tahukah kamui bahwa ada seorang hamba di antara hamba-hambaKu yang mempunyai dosa dan kesalahan yang begitu banyak sehingga memenuhi sudut-sudut langit. Tetapi aku tak hiraukan dosa-dosanya; semua aku ampuni.”
“Mengapa tidak Kauhiraukan, ya Rabb”
“Karena ada satu hal yang mulia yang Aku cintai dalam dirinya: Ia mencintai fakir miskin. Ia bergaul akrab dengan mereka. Ia menyamakan dirinya seperti mereka. Ia tidak sombong. Jika ada hambaku seperti dia, aku ampuni dia dan aku tidak hiraukan dosa-dosanya.”
Puasa tanpa perkhidmatan
Sampai di sini kita tahu bahwa Ibu Fatimah tidak selayaknya bersedih hati. Ia sudah menjalankan puasa dengan hadiah berharga untuk Tuhan: perkhidmatan. Yang harus berduka justru mereka yang berpuasa tanpa persembahan untuk Dia. Celakalah orang yang berpuasa dengan kezaliman –lawan dari perkhidmatan. Mereka bahkan tidak mendapat apa pun untuk dirinya sekali pun. “Betapa banyaknya yang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga,” sabda nabi Muhammad saw.
Pada bulan Ramadhan, Nabi yang mulia memergoki seorang perempuan yang memaki budaknya. Ia memanggil perempuan itu dan menyuruhnya berbuka. Perempuan itu berkata: Inni shâimah. Aku berpuasa. “Bagaimana mungkin kamu berpuasa tetapi kamu maki-maki budakmu.” Nabi mengingatkan perempuan itu bahwa bulan Ramadhan adalah bulan perkhidmatan, bukan makian. Memaki hamba Allah akan menghapuskan semua pahala puasanya. Supaya puasa itu berfaidah bagi kamu, tinggalkan segala macam kezaliman, terutama pada orang kecil.
Dilaporkan kepada Nabi tentang seseorang yang selalu berpuasa di waktu siang dan bangun malam untuk salat tetapi sering menyakiti tetangganya dengan lidahnya. Ia menjawab singkat: Dia di neraka! Ayat berikut ini ditujukan untuk orang-orang yang bersedekah di bulan puasa tetapi menyertai sedekahnya dengan kata-kata yang menyakitkan hati: “Hai orang-orang yang beriman, jangan kamu batalkan sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti hati sebagaimana orang yang menginfakkan hartanya untuk dipamerkan di tengah-tengah manusia…” (Al-Baqarah 264)
Orang yang salat –baik di bulan Ramadhan maupun bukan- dan tidak melakukan perkhidmatan diancam dengan kecelakaan (neraka): Maka celakalah orang-orang yang salat; yang lalai dalam salatnya; yang hanya pamer saja; yang tidak memberikan pertolongan.” (Al-Ma’un 5-7).
Jadi supaya semua ibadat kita di bulan Ramadhan ini mendatangkan faidah yang bernilai bagi kita, tinggalkan segala macam kezaliman. Dan supaya puasa kita menjadi persembahan yang agung bagiNya, sertailah semuanya dengan perkhidmatan. “Semua makhluk adalah keluargaKu. Makhluk yang paling Aku cintai adalah yang paling penyayang pada makhluk yang lain, yang paling bersungguh-sungguh dalam memenuhi keperluannya.” (Hadis Qudsi).
Pesan Utama Madrasah Ruhaniah
Inilah pesan utama buku ini. Dengan puasa, kita ingin menjadi anggota keluarga besar Tuhan; anggota keluarga yang paling dicintaiNya. Aku menerbitkan buku ini untuk orang seperti Ibu Fatimah agar ia bisa berbahagia dengan perkhidmatannya kepada sesama manusia di bulan Ramadhan. Tetapi aku menyampaikan buku ini juga untuk kawan-kawan Ibu Fatimah yang terlalu banyak menaruh perhatian pada ibadat-ibadat ritual.
Konon, menurut cerita Ibu Fatimah, pada hari-hari Ramadhan, ia bersedih hati karena kawan-kawannya dapat melayani Tuhan. Sementara ia hanya melayani manusia. “Dari mana ia tahu bahwa kawan-kawannya melayani Tuhan dengan baik? ” tanyaku. Dari laporan mereka. Mereka bercerita tentang ketahanan puasanya sehingga tetap berpuasa dalam keadaan sakit sekalipun atau dalam perjalanan seberat apa pun. Mereka melaporkan berapa juz Al-Quran yang sudah mereka baca. Mereka menuturkan betapa nikmatnya beriktikaf dengan mubalig kondang semalam suntuk. Mereka berkisah tentang pengalaman berumrah di bulan Ramadhan di tanah suci.
Aku katakan kepadanya bahwa bersaing dalam melaporkan ibadat bisa mengalihkan pelayanan kita kepada Tuhan menjadi pelayanan kepada diri sendiri. Puasa yang seharusnya melatih kita untuk meninggalkan ego kita malah memperkuatnya. Aku teringat kepada nasihat Nabi Isa as kepada para pengikutnya perihal puasa:
"Dan apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya.
Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu,
supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu." (Matius 6:16-18)
Mungkin kita tidak perlu meminyaki kepala kita untuk menyembunyikan puasa kita, tetapi kita tidak perlu “memamerkan” ibadat-ibadat kita. Syarat ampunan Tuhan disebutkan dalam sabda Nabi saw “īmânan wahtisâban”, dengan keimanan dan ketulusan.
Supaya kita berpuasa dengan tulus, janganlah kita jadikan Ramadhan sejenis Akademi Fantasi yang mengukur kelebihan kita dari jumlah sms yang mendukung kita. Jadikanlah
puasa sebagai madrasah ruhaniah. Memasuki madrasah ruhaniah berarti menjalani pelatihan untuk menggeser perehatian yang berlebihan pada ego kita. Berhijrahlah dari “rumah kita yang sempit” (ego) menuju Allah dan RasulNya, “rumah semesta yang tidak terhingga”.
Tahap awal meninggalkan egoisme adalah altruisme (dari bahasa Itali, altrui, orang lain). Ketika Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa menyakiti manusia, dia menyakiti aku. Barangsiapa menyakiti aku, ia menyakiti Allah”, ia mengingatkan kita bahwa melayani Allah dan RasulNya harus diungkapkan dengan melayani sesama manusia. Cintailah Allah dan RasulNya dengan mencintai secara tulus sesama manusia. Bulan Ramadhan adalah bulan kasih sayang, bulan rahmat. Ramadhan, seperti Nabi saw, diturunkan untuk menyebarkan rahmat pada seluruh alam semesta. Buku ini aku terbitkan –seperti biasa- dengan tergesa-gesa untuk menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan kasih sayang.
Pembaca yang arif dengan segera menangkap bahwa aku menghindari kata “menulis”, tetapi “menerbitkan” atau “menyampaikan.” Karena buku ini memang tidak aku tulis. Sukardi, kepala perpustakaan Muthahhari, dan Miftah F Rakhmat mengumpulkan rekaman ceramah-ceramahku di masjid Al-Munawwarah dan kemudian menyuntingnya menjadi naskah yang layak dibaca. Pada naskah pertama, ada beberapa tulisan Miftah, yang menurut bapaknya sangat bagus untuk disertakan di sini. Tetapi Miftah, yang terkenal karena rendah hatinya, merasa tidak enak berdampingan dengan tulisan (yang sebetulnya ceramah) bapaknya. Sebagai penggantinya, ia menambahkan doa-doa harian di bulan puasa dan menerjemahkannya. Aku berani mengatakan bahwa sebetulnya buku ini karya dia dan Sukardi. Aku hanya menyediakan bahan-bahannya. Merekalah yang menyusunnya dan mengorganisasikannya. Bukankah karya pelukis hanyalah pengorganisasian dari warna-warna yang telah tersedia. Garis dan bentuk tidak orisinal. Organisasi garis dan bentuk itu yang orisinal.
Walhasil, terimakasih yang setinggi-tingginya kepada kedua “pelukis” buku ini. Kepada Bambang dari penerbit Muthahhari Press saya menghaturkan “nuhun pisan”; dan kepada Rudi, yang mengetik naskah ini, saya menyampaikan apresiasi saya yang paling dalam. Kepada para pembaca, saya menyampaikan syukur saya atas kesediaannya untuk mebaca buku ini, menyebarluaskannya pada kawan-kawan dan teruatama sekali meneruskan pesan utama buku ini dengan melintas ruang dan waktu. Buku ini diterbitkan untuk bulan Ramadhan tahun ini, tetapi pesannya relevan sepanjang masa.
Oleh:Jalaluddin Rakhmat

Baca pula:

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan komentarnya dong...