Senin, 18 Juni 2012

Jenderal Ahmad Yani


Hari ini adalah perayaan hari jadiku yang ke 24. Jadi sebagai inspirasi hidup buat diri saya pribadi  dan juga sebagai upacan terimakasih kepada teman-temanku, maka saya sengaja menuliskan (memposting) sebuah kisah dari seorang pahlawan kita yang juga tepat lahir pada tanggal 19 Juni. Sosok ini terkenal dengan wataknya yang selalu berseberangan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Yach,tak lain dan tak bukan ia adalah Jenderal Achmad Yani.
Ketika menjabat menteri/Panglima Angkatan darat (Men/Pangad), ia sangat menolak keinginan PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiiri dari buruh dan tani. Karenanya, dengan fitnah bahwa sejumlah TNI AD telah bekerja sama dengan sebuah Negara asing untuk menjatuhkan Presiden Soekarno, PKI lewat Gerakan 30 September (G 30/S) menjadikan dirinya salah satu target yang akan diculik dan dibunuh di antara 7 perwira TNI AD lainnya.
Peristiwa yang terjadi pada tanggal 1 oktober 1965 dinihari itu akhirnya meneswaskan enam dari tujuh Perwira Tinggi Angakatan Darat yang sebelumnya direncanakan PKI. Lubang buaya, lokasi dimana sumur tempat menyembunyikan jenazah para Pahlawan Revolusi itu berada menjadi saksi bisu atas kekejaman komunis tersebut.
Jenderal yang sangat dekat dengan Presiden Soekarno itu, merupakan salah satu tangan kanan dan keprcayaan Sang Proklamator. Ia sangat cinta dan setia terhadap Bung Karno. Karena kecintaan dan kesetiannya, ia bahkan pernah mengatakan, “Siapa yang berani menginjak bayang-bayang Bung Karno, harus terlebih dahulu melangkahi mayat saya”. Bahkan ada isu terdengar bahwa Jend.Achmad Yani telah dipersiapkan oleh Bung Karno sebagai calon penggantinya sebagai Presiden. Namun begitu, Achmad Yani tetap tidak setuju dengan konsep NASAKOM dari Soekarno. Isu dan prinsipnya itu akhirnya membuat PKI semakin benci terhadap dirinya.
Achmad Yani yang lahir di Jenan, 19 Juni 1922 ini adalah anak dari Sarjo bin Suharyo (Ayah) dan Murtini (Ibu). Pendidikan formal diawalinya di HIS (sederajat SD) Bogor, yang diselesaikannya pada tahun 1935. Kemudian ia melanjutkan sekolahnya ke MULO (sederajat SMP) kelas B, Bogor. Dari sana ia tamat pada tahun 1938, selanjutnya ia masuk ke AMS (sederajat SMA) bagian B, Jakarta. Sekolah ini dijalaninya hanya sampai kelas 2, sehubungan dengan adanya milisi yang diumumkan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Ia kemudian mengikuti pendidikan militer pada dinas Topografi Militer di Malang dan secara lebih intensif lagi di lanjutkan di Bogor. Dari sana ia mengawal karir militernya dengan pangkat Sersan. Kemudia setelah tahun 1942 yakni setelah pendudukan jepang di Indonesia, ia juga mengikuti pendidikan Heiho di Magelang dan selanjutnya masuk tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor.
Berbagai prestasi pernah diraihnya pada masa perang kemerdekaan, antara lain berhasil melucuti senjata Jepang di Magelang. Setelah tentara keamanan rakyat (TKR) terbentuk, dirinya diangkat menjadi komandan TKR Purwokerto. Selanjutnya karir militernya semakin cepat menanjak.
Prestasi lain diraihnya ketika agresi militer pertama belanda terjadi. Pasukannya beroperasi di daerah Pingit berhasil menahan serangan belanda di daerah tersebut. Maka saat agresi militer kedua belanda terjadi, ia dipercayakan memegang jabatan sebagai Komandan Wehrkreise II yang meliputi daerah pertahanan kedu.
Setelah Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan, ia diserahi tugas untuk menghancurkan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang mengacau di daerah Jawa tengah. Ketika itu dibentuklah pasukan Banteng Raiders yang diberi latihan khusus. Alhasil, pasukan DI/TII pun berhasil ditumpasnya.
Seusai penumpasan DI/TII tersebut, ia ditarik ke Staf Angkatan darat. Pada tahun 1955, ia disekolahkan pada Command and General Staff College di Fort leaven Worth, Kansas, AS selama 9 bulan. Dan pada tahun 1956, ia juga mengikuti pendidikan selama 2 bulan pada special Warfare Course di Inggris.
Pada tahun 1958 saat pemberontakan PRRI terjadi di Sumatera barat, Achmad Yani yang masih berpangkat Kolonel diangkat menjadi Komandan Operasi 17 Agustus, untuk memimpin penumpasan pemberontakan PRRI tersebut. Ia juga berhasil menumpas pemberontakan tersebut. Sejak itu anamanya pun semakin cemerlang. Hingga pada tahun 1962, ia yang waktu itu berpangkat Letnan Jendral diangkat menjadi Men/Pangad menggantikan Jendral A.H Nasution yang naik jabatan mnejadi Menteri Koordinator Pertahanan keamanan?kepala staf Angakatan Bersenjata (Menko Hankam/Kasab).
Saat menjabat Men/Pangad itulah terjadi kejadian naas. Jenderal yang terkenal sangat anti pada ajaran komunis itu pada tanggal 1 oktober 1965 pukul 4:35 WIB, dikala subuh, diculik dan ditembak oleh PKI di depan kamar tidurnya hingga gugur. Dalam pencarian yang dipimpin oleh Soeharto yang ketika itu masih sebagai Pangkostrad, jenasahnya ditemukan di lubang buaya terkubur di salah satu sumur tua bersama enam jenasah lainnya. Jenasah Achmad Yani dimakamkan di Taman Makam pahlawan,ia gugur sebagai Pahlawan Revolusi. Pangkatnya yang sebelumnya Letnan jenderal dinaikkan satu tingkat sebagai penghargaan menjadi Jenderal.
Dia gugur karena mempertahankan kesucian dasar dan falsafah negara, pancasila yang coba hendak diselewengkan komunis. Untuk menghormati jasa para pahlawan tersebut, maka di lubang buaya, dekat sumur tua tempat jenasah ditemukan, dibangun tugu dengan latar belakang patung ke tujuh pahlawan revolusi yakni 6 perwira tinggi.
Peristiwa 1 Oktober 1965 tersebut kemudian telah melahirkan suatu orde dalam sejarah pasca kemerdekaan republik ini. Orde yang kemudian lebih dikenal dengan Orde Baru itu menetapkan tanggal 1 Oktober setiap tahunnya sebagai hari Kesaktian Pancasila sekaligus sebagai hari libur nasional. Penetapan itu didasari oleh peristiwa yang terjadi pada hari dan bulan itu, dimana telah terjadi suatu usaha perongrongan Pancasila, namun berhasil digagalkan.
Belakangan setelah orde baru jatuh dan digantikan oleh orde yang disebut Orde Reformasi, peringatan hari Kesaktian Pancasila ini sepertinya mulai dilupakan. Terbukti tanggal 1 Oktober tersebut tidak lagi ditetapkan sebagai hari libur nasional sebagaimana sebelumnya.
Dalam pidato Bung Karno yang dikenal dengan "Jasmerah", Bapak Bangsa itu menyebut agar jangan sekali-kali melupakan sejarah. Lebih tegas disebutkan, bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang mengingat dan menghargai sejarahnya. Hendaknya begitulah yang terdapat pada bangsa ini, khususnya pada para pemimpinnya.

Baca pula:

3 komentar:

  1. sejarah....sesuatu yang membuat kita sekarang ada dan berdiri pada fondasi yang telah di bangunnya...namun, sekarang ia mulai terlupakan...salam kenal kawan...

    BalasHapus
  2. Happy Birthday yah... Jadi Semoga mimpi-mimpi da harapannya dimasa yang akan datang segera terwujud... Amin

    BalasHapus
  3. Mantabs nih tulisannya soal Sejarah! Kita harus lebih menghargai sejarah apalagi orang2 yg berjuang dulu. Sedih kalo liat Veteran hidupnya msh susah, harus berjuang keras buat Makan. sedangkan Kita malah enak2kan sekarang dari hasil Perjuangan mereka dulu.
    Follow back ya..

    BalasHapus

Tinggalkan komentarnya dong...