Jumat, 16 Maret 2012

Syekh Yusuf,Sang Sufi “Al Khalwati”

Nama Syekh Yusuf tentu bukanlah sesuatu yang awam buat masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya di kota Gowa dan Makassar. Meski begitu Syekh Yusuf sebenarnya lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berjuang di Banten bersama Sultan Ageng Tirtayasa. Perkenalan Syekh Yusuf dengan Sultan Banten terjadi lebih kurang pada tahun 1644 sewaktu akan menunaikan ibadah Haji.
Dalam era tahun 1660-an, Kesultanan Makassar dan Banten merupakan dua kerajaan besar di Nusantara yang menjadi musuh besar Kompeni. Makassar sebagai pelabuhan pengumpul rempah-rempah dan hasil bumi, sedangkan pelabuhan Banten merupakan tempat perdagangan internasional.
Tanggal 22 September 1644, dalam usia 18 tahun Yusuf meninggalkan negrinya menuju Mekkah dengan menumpang kapal niaga Melayu dan singgah di Banten. Pada waktu itu, Banten sedang menghadapi konfrontasi dengan Kompeni, ia tinggal di Banten selama 5 tahun, untuk belajar agama Islam. Selain itu ia juga aktif di berbagai bidang terutama membangkitkan semangat agama dan mengajak rakyat untuk berjuang melawan semua pengaruh asing.
Keinginan Yusuf untuk memperdalam ilmunya di Timur Tengah tetap terpelihara. Selama 15 tahun ia tempuh belajar di Arab Saudi. Setelah ilmunya dirasa sudah cukup, namanya diabadikan sebagai seorang Syekh. Sultan Ageng Tirtayasa mengetahui tingkat ilmu Syekh, maka dipanggilnya ke Banten untuk memperkuat jajaran kepemimpinan dalam usahan melawan Kompeni Belanda. Karena pengaruhnya, maka kerajaan Banten meningkat kewibawaannya di antara raja-raja di Nusantara pada zaman itu.
Tahun 1664, sebagai Sufi “Al Khalwati”nya Syekh Yusuf mempunyai beberapa peran, yaitu:
·         Diangkat menjadi guru putra Sultan Banten, Pangeran Gusti (Sultan Haji).
Diangkat menjadi Mufti dan penasehat raja.
·         Sebagai menantu Sultan.

Karena peran-peran tersebut, Syekh Yusuf semakin terlihat dalam situasi politik, ekonomi dan sosial serta menggalang persatuan dan kesatuan. Syekh Yusuf mempunyai kharisma, namanya semakin populer sehingga sangat disegani oleh Kompeni. Pada waktu itu orang-orang Makassar dan Bugis berguru padanya sekaligus mereka menjadi kader-kader dan komandan pasukan yang sudah terisi jiwanya dengan pengetahuan agama, cinta tanah air dan mengharamkan kerja sama dengan penjajah.
Pada bulan Maret 1682 berkecamuk perang Banten selama 6 bulan. Kompeni mengalami kerugian harta dan personil. Sejak awal perang Banten, Syekh Yusuf sangat ditakuti Kompeni, karena itu Kompeni mengumumkan bahwa barang siapa yang dapat menangkap Syekh Yusuf hidup atau mati akan diberikan hadiah 1000 ringgit. Tentara Kompeni di bawah pimpinan Van Happel sudah kewalahan dan hampir putus asa menghadapi Syekh Yusuf bersama pasukannya. Van Happel menempuh jalan tipu muslihat, ia datang berpakaian Arab dengan membawa serta Puteri Syekh Yusuf yang bernama Asma. Pada waktu itu Syekh Yusuf terpancing oleh bujukan Van Happel, iba hatinya ketika melihat Asma puterinya disandera.
Dengan jalan tipuan tersebut Syekh Yusuf tertangkap, kemudian dimasukkan ke penjara di Kastel Batavia.
Tanggal 12 September 1884, Syekh Yusuf diasingkan ke Ceylon (Sri Langka) dalam usia 58 tahun, bersama dua orang istrinya dan dua orang pembantu wanita dan 12 orang santri dan beberapa orang anaknya. Bagi Kompeni penahanan terhadap Syekh Yusuf dianggap kegiatan politiknya sudah berhenti. Keahliannya dalam bidang agama Islam tidak saja bermanfaat bagi kaumnya, namun juga bagi masyarakat Budha, Syekh Yusuf mengajarkan Ilmu Syariat dan Tasawuf kepada muridnya yang datang dari India Selatan dan Ceylon (Sri Langka).
Meski Syekh Yusuf dalam pembuangan, namun kharismanya masih tetap kuat terhadap umatnya. Hal ini terbukti bahwa jemaah haji dari Hindia Timur sekembalinya dari Mekkah banyak yang singgah ke Ceylon untuk berguru dan meminta berkah selama beberapa bulan, bahkan ada yang sampai 3 bulan. Dalam kesempatan tersebut, Syekh Yusuf menyelipkan pesan-pesan politik yang maksudnya agar tetap mengadakan perlawanan terhadap Kompeni. Selain itu Syekh Yusuf juga mengirimkan surat kepada Sultan Banten, Sultan Makassar dan Karaeng Karunrung, Mangkubumi, Kerajaan Gowa untuk tetap berjuang melawan Kompeni-penjajah yang akan menghancurkan agama dan kemanusiaan.
Pengaruh dari pesan-pesan tersebut mengakibatkan timbulnya :
·         Pemberontakan haji miskin di Minangkabau pada tahun 1687.
·         Pemberontakan Sultan Abdul Jalil (Gowa) yang menuntut Benteng Ujung Pandang (Rotterdam) dikembalikan kepada Gowa.
·         Pemberontakan Sultan Banten yang menuntut agar kerja paksa bagi rakyat dihapuskan.
Kompeni tidak mengira bahwa pembuangannya ke Ceylon, ternyata tetap menjaga kharisma dan kewibawaannya yang dihormati dan dipuja.
Akibat semua itu, Syekh Yusuf mendapat hukuman mati dari VOC, namun hal itu mendapat protes dari Raja Alangkir dari India dan Raja Makassar, Abdul Jalil (1677-1709). Dengan adanya protes tersebut, hukuman mati dirubah menjadi pembuangan seumur hidup.
Tanggal 7 Juli 1693 dalam usia 68 tahun Syekh Yusuf dibuang ke Capetown (Afrika Selatan). Ia disambut baik oleh Gubernur Simon Van Stel dan dihormatinya sebagai buangan politik sebagaimana orang buangan politik sebelumnya.
Tanggal 2 April 1694, Syekh Yusuf bersama rombongan (59 orang) tiba di Kasteel Capetownn. Sholat Maghrib pertama dilakukan dalam benteng tersebut. Selama lima tahun di Afrika Selatan, Syekh Yusuf tetap menyebarkan agama Islam. Oleh karena itu, penduduk di Cape Town hingga kini menganggap Syekh Yusuf sebagai orang pertama yang menyiarkan agama Islam Di Afrika Selatan. Begitu juga di Ceylon. Tepat pada tanggal 23 Mei 1699 Syekh Yusuf pun menghembuskan nafas terakhirnya.
Pada tahun 1995, SK Presiden RI No. 071/TK/1995 meneguhkan Syekh Yusuf Tajul Khalwati sebagai Pahlawan Nasional.

Sumber:

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan komentarnya dong...