Rabu, 25 Januari 2012

Filsafat Teknik Kimia Part I


1.      Sejarah dan revolusi teknologi
Kita mengenal teknologi dalam pengertiannya yang modern sebagai aplikasi atau penerapan sains. Namun sains dalam pengertiannya yang modern berakar pada revolusi Copernicus. Pada abad ke 16 masehi revolusi Copernicus dimulai dan berujung pada penemuan mekanika Newton yang memandang alam ini sebagai sebuah mesin raksasa. Pandangan mekanistik Newtonian ini merupakan penggantian pandangan organismik Aristotelean yang mendominasi pemikiran manusia selama lebih dari seribu tahunan. Pandangan organismik Aristoteleian itu sendiri adalah pandangan filosofis yang menggantikan pandangan mitologis yang melihat alam bukan sebagai organisme, tetapi sebagai sebuah kerajaan dengan para dewa sebagai pemerintahnya.
Penggantian-penggantian sudut pandang itu sendiri sebenarnya dipicu oleh penemuan-penemuan teknologi yang kemudian mendominasi era peradaban pasca penemuan teknologi tersebut. Pandangan organismik Aristoteleian itu dipicu oleh lahirnya pemikiran logis yang dimungkinkan oleh ditemukannya huruf alfabetik sebagai teknologi komunikasi informasi yang revolusioner. Begitu juga penggantian pandangan organismik Aristoteleian dengan pandangan mekanistik Newtonian dipicu oleh penemuan revolusioner berikutnya dibidang komunikasi informasi: revolusi Gutenberg. Revolusi Gutenberg bermula dengan ditemukannya mesin cetak tipografis manual oleh Gutenberg. Revolusi teknologi inilah yang memicu lahirnya sains modern.
Tampak dari uraian di atas bahwa lahirnya teknologi pada dasarnya jauh mendahului kelahiran sains modern. Namun, dengan kelahiran sains modern terjadilah sebuah hubungan timbal balik positif antara sains, teknologi dan ekonomi yang memungkinkan revolusi-revolusi sains dan teknologi berikutnya. Sains mekanistik deterministik Newtonian memang melahirkan revolusi industri atau revolusi Watt, namun revolusi Faraday yang melihat dunia sebagai lautan ether elektromagnetik melahirkan revolusi industri kedua setelah ditemukannya generator dan motor listrik. Begitu pula revolusi sains kedua yang dipicu oleh lahirnya teori kuantum dan relativitas, mendorong revolusi industri ketiga dengan ditemukannya mikroprosesor yang merupakan jantung bagi komputer. Itulah sebabnya revolusi industri ketiga ini lebih dikenal sebagai revolusi informasi.
Dalam perjalanan sejarah, teknologi dan peradaban berkembang beriringan. Keduanya mengalami koevolusi. Koevolusi itu berkembang dengan cara bertahap yang menunjukkan perubahan karakteristik teknologi yang berkaitan secara umpan balik positif dengan tujuh perubahan revolusiner peradaban menuju suatu keseimbangan baru. Dari peradaban prateknik terdapat tujuh revolusi sosial yang didorong oleh diciptakannya jenis-jenis teknologi dengan karakteristik yang baru.
Teknologi berkembang dari awal berupa teknologi organik yaitu penggunaan anggota tubuh manusia secara langsung, diikuti oleh tujuh tahap evolusioner teknologi baru. Tahap-tahap teknologi itu memperluas organ-organ tubuh manusia dengan perpanjangan kolektif berupa barang-barang ciptaan manusia yang memperkuat kapasitas organ tersebut.
Pada mulanya, diciptakan perkakas-perkakas, pada zaman teknologi suborganik, yang merupakan perpanjangan tangan manusia sebagai sub organ yang berada di luar tubuhnya. Kemudian, perkakas-perkakas itu dihubungkan satu sama lainnya, pada zaman teknologi paraorganik, sehingga gerakannya dapat disesuaikan dengan kepentingan manusia. Ketiga tahap peradaban itu –peradaban prateknik, peradaban prototeknik dan peradaban eoteknik– menyangkut teknologi material praindustri.
Sesudah itu, manusia menemukan sumber energi alam yang menggantikan tenaga manusia atau hewan, dalam bentuk teknologi anorganik, yaitu tiupan angin dan aliran air dalam berbagai jenis kincir. Ini adalah revolusi protoindustri. Selanjutnya, manusia menemukan cara untuk menggantikan tenaga aliran alamiah itu dalam bentuk teknologi semiorganik dengan tenaga api yang diubah menjadi tenaga uap. Inilah yang dikenal dengan nama revolusi industri pertama atau revolusi Watt.
Akhirnya manusia menemukan cara untuk mengubah satu bentuk energi luar tubuh manusia menjadi energi luar tubuh lainnya sehingga bisa mendistribusikannya ke banyak tempat dalam bentuk teknologi superorganik. Inilah intisari revolusi Faraday yang pertama kali menciptakan generator listrik yang pada prinsipnya dapat diubah menjadi motor listrik. Revolusi Faraday adalah revolusi energi ketiga, juga dikenal sebagai revolusi industri kedua. Ketiga revolusi teknologi energi itu masing-masing melahirkan peradaban paleoteknik, peradaban arkeoteknik dan peradaban neoteknik.
Kini, kita telah mengalami dua revolusi informasi pasca industri yang tahap-tahapnya dapat kita identifikasikan dengan nama-nama pencipta teknologi yang menjadi dominan pada waktunya. Yang pertama adalah revolusi Marconi yang untuk pertama kalinya berhasil menciptakan mesin komunikasi yang menggunakan tenaga listrik dalam teknologi megaorganik. Revolusi ini diikuti pada akhirnya oleh penemuan komputer praktis pertama oleh von Neuman yang memungkinkan lahirnya teknologi metaorganik yang membentuk masyarakat informasi pascamodern sekarang ini. Kedua teknologi informasi itu melahirkan peradaban megateknik dan peradaban metateknik





2.      Hubungan filsafat dan teknologi
Tak banyak orang yang mengenal filsafat. Apalagi bila kita menghubungkannya dengan teknologi. Karena filsafat umumnya kita kenal sebagai mahailmuyang membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan eksistensi manusia,Tuhan ataupun Wujud (realitas). Untuk itu menghubungkan filsafat dan teknologi akan terkesan tak biasa. Padahal filsafat teknologi adalah salah satu genre dalam ranah filsafat yang dapat dikatakan banyak menarik perhatian para filsuf. Heidegger, Habermas, Jacques Ellul, Don Ihde dan Andrew Feenberg adalah beberapa contoh filsuf yang memberikan perhatian pada hakikat teknologi dalam dunia-kehidupan.
Pertanyaan tentang hakikat teknologi sebenarnya sudah muncul sejak zaman Yunani kuno (Aristoteles). Saat itu dikenal terma filsafat: techne dan poiesis. Heidegger mengungkap hal ini dalam bukunya “The Question Concerning Technology (1977)”. Techne dapat dijelaskan sebagai pengetahuan tentang cara memproduksi atau mentransfomasikan, sedangkan poiesis adalah sebuah penyingkapan, yang dengannya sesuatu yang baru hadir dimuka bumi. Pada masa modern filsafat teknologi tidak hanya membahas techne, poiesis dan kaitannya dengan dunia kehidupan saja, tapi juga artifak atau teknofak yang tak dapat dipungkiri mempengaruhi kehidupan dan juga kesadaran.
Heidegger adalah salah satu tokoh filsuf yang membuka diskursus filsafat teknologi. Karakter dan hakikat teknik (teknologi) bahkan sudah dibicarakan oleh Heidegger dalam buku besarnya “Being and Time(1927)”, yang kemudian dituntaskan dalam bukunya “The Question Concerning Technology(1977)”. Menurut Heidegger hakikat teknologi adalah bukan sesuatu yang bersifat teknologis, melainkan enframing, membuat, mencipta atau mentransformasikan (yang kemudian mengungkapkan sesuatu yang baru). Teknologis kemudian dimengerti bukan semata-mata yang teknis tetapi juga yang reflektif filosofis.
Refleksi filosofis tentang teknologi telah menciptakan tanggapan yang berbeda-beda tentang hakikat teknologi. Di Amerika misalnya dikenal sebuah geraka natau perkumpulan anti-teknologi. Gerakan ini bernama Neo-Luddite. Nama ini berasal dari Luddisme, yaitu sebuah gerakan anti industrialisasi di Inggris pada awal abad 19. Gerakan ini sering dikisahkan sebagai gerakan merusak mesin yang dilakukan oleh para buruh karena mengancam lahan kerjanya. Demikianlah Luddisme dikenal. Sekarang gerakan Neo-Luddite mempunyai manifesto bahwa biosphere itu lebih utama dari technosphere. Menurutnya mesin merupakan dekadensi dalam peradaban. Mesin telah mengambil alih kerja (keterampilan tangan/seni)manusia memproduksi secara massal. Gerakan ini bahkan menolak produksi atau percetakan buku atau kertas, padahal gerakan ini dikenal sebagai gerakan kaum intelektual. Alasannya, produksi buku (kertas) secara massal telah menghabiskan hutan-hutan di Eropa. Selain itu menurut mereka budaya baca buku telah menghilangkan tradisi bercerita atau mendongeng.
Filsafat teknologi tentu tidak terbatas pada bagaimana relasi manusia dengan artifak (dan teknofak) itu dapat dijelaskan. Jacques Ellul, seorang pemikir dari Perancis dalam bukunya “The Technological Society (1964)” melihat teknologi (lebih spesifik dunia teknik) sebagai entitas yang otonom, manusia tidak bisa mengontrol dan mengatasi kemajuan teknik. Hanya teknologi yang dapat mengontrol dan mengatasi dirinya sendiri. Dengan kata lain, implikasi etis, sosiologis dan ekologis dari kemajuan teknik hanya dapat diatasi oleh teknik itu sendiri. Untuk mengatasi persoalan limbah industri misalnya diperlukan teknologi baru untuk mengolah atau mengatasi permasalahan limbah. Sehingga teknik terus menerus maju untuk mengatasi kekurangan-kekurangan yang ada pada dirinya. Ia bergerak dengan sendirinya layaknya sebuah organisme dari sebuah laju evolusi kehidupan. Karena itu ia tidak dapat dikontrol, seperti monsternya Frankenstein.
Bahkan Teknologi di sini diandaikan seperti roh absolut Hegel yang bergerak secara masif mengontrol dan menguasai dunia kehidupan manusia. Tidak ada kekuatan selain dunia teknik itu sendiri. Karena teknik adalah syarat bagi kehidupan. Dengan kata lain orang yang tidak menggunakan atau antiteknologi (teknik) akan dengan sendirinya tersingkir dan tereliminasi dari kehidupan.
Gagasan Ellul tentu saja terkesan ambisius. Mengapa kita tidak bisa mengontrolnya? Bukankah semua itu kreasi manusia? Banyak pemikir melihat bahwa determinisme teknik adalah konsekuensi dari ideologi modernisme, yang di dalamnya terdapat gagasan ideologis tentang kemajuan dan perubahan. Sehingga gagasan deterministik mengandaikan sebuah kondisi sejarah yang tak terelakkan, kita hidup dalam sebuah keniscayaan sejarah yang menempatkan dunia teknik sebagai syarat-syaratnya.
Don Ihde, ahli fenomenologi dari Amerika menanggapi dengan berbeda soal determinisme ini, bahkan dalam beberapa hal menolaknya. Ia mengupas terlebih dahulu relasi teknologi dan kebudayaan manusia. Argumentasinya diawali dengan penjelasan tentang relasi hermeneutis dalam konteks kultural, yaitu sebuah interpretasi yang terjadi ketika suatu budaya menangkap atau menerima artifak teknologi kebudayaan lain. Don Ihde melihat bahwa ada kegiatan hermeneutis ketika teknologi sebagai instrumen kultural yang dimaknai dan diinterpretasikan secara berbeda, Yaitu ketika terjadi transfer teknologi “(Don Ihde, Technology and the Lifeworld: From Garden to Earth, 1990: 125)”.
Nilai praktis teknologi dalam proses transfer teknologi dapat diinterpretasikan secara berbeda bahkan tidak dimengerti. Namun bila nilai praktis dapat dimengerti, proses transfer teknologi menjadi mudah. Dapat dikatakan tidak ada kegiatan hermeneutis. Orang Papua misalnya dapat mengkonversikan pisau/kapak dari batu menjadi pisau/kapak dari besi karena nilai praktis yang dapat dimengerti. Berbeda ketika mereka pertama kali melihat senapan. Mereka tidak mengerti nilai praktis senapan. Perlu adanya kegiatan hermeneutis sebelum senapan menjadi penting dan berguna. Jadi sama seperti kita pertama kali melihat komputer atau teknologi lainnya. Orang yang tidak mengerti nilai praktis teknologi tentunya akan bertanya-tanya ketika melihat benda teknologi tersebut.
Nilai praktis memberikan persepsi yang berbeda dalam melihat teknologi. Setiap budaya misalnya mempunyai teknologi yang sama, namun mempunyai nilai praktis yang berbeda. Di Cina pada awalnya bubuk mesiu digunakan untuk petasan, perayaan-perayaan, berbeda dengan di Barat yang menggunakan bubuk mesiu untuk senjata, peperangan. Begitu juga tenaga angin (kincir angin), ia juga sama-sama dipakai di Barat dan juga di Timur (Iran). Namun nilai praktisnya berbeda, di Barat tenaga angin membawa banyak kegunaan, sedangkan di Iran hanya untuk tenaga irigasi. Jadi setiap budaya mempunyai ekspresi berbeda tentang teknologi yang digunakannya. Masing-masing mempunyai nilai praktisnya sendiri.
Berdasarkan interpretasi antropologis, Don Ihde kemudian menyimpulkan bahwa teknologi itu inheren dengan kebudayaan. Bila kita melihat contoh diatas benarlah bahwa setiap artifak kebudayaan itu mengandung nilai teknologisnya sendiri. Setiap budaya menggunakan instrumen teknologi (artifak) sesuai dengan tradisi yang diturunkan, dan ia bersifat unik. Karena itu teknologi inheren dengan budaya itu sendiri. Maka pertanyaanpun beralih, apakah budaya itu dapat dikontrol atau tidak? Atau apakah budaya itu bersifat determinisitik?
Tentu tidak semudah itu mengatakan bahwa apakah budaya itu dapat dikontrol atau tak dapat dikontrol (deterministik). Kata kontrol dalam konteks ini bermasalah. Karena dalam nalar Don Ihde relasi manusia-teknologi (budaya) sudah mengandaikan adanya kegiatan “mengontrol” dan“dikontrol” (Technology and the Lifeworld, 1990: 140). Untuk itu budaya-teknologi tidak dapat dipertanyakan apakah ia dapat dikontrol atau tidak. Teknologi bukanlah monster yang berdiri bebas dan otonom. Karena ia digunakan dan bersifat intensional, artinya manusia mempunyai kebebasan untuk mengontrol dan dikontrol. Dalam konteks inilah Don Ihde menolak asumsi metafisika deterministik dari teknologi.
Ketika setiap budaya mempunyai ekspresi yang berbeda tentang teknologi, maka teknologi dipahami bersifat non-netral. Bahkan Ihde melihat bahwa teknologi itu bersifat ambigu. Ketika teknologi dimaknai sebagai kode-kode budaya maka ia pun dapat dimaknai secara berbeda. Karenanya teknologi sebagai bagian inheren dari budaya bersifat kontekstual dan mempunyai ciri multistabil. Multistabilitas ini dapat dipahami sebagai pandangan khas setiap budaya dalam memahami dan menjelaskan dunianya. Jadi relasi teknik dan relasi hermeneutis setiap budaya dalam menjelaskan dan memahami dunia itu berbeda-beda.
Karena pengalaman kebudayaan berbeda-beda maka persepsi tentang teknologi pun berbeda. Multistabilitas yang terjadi pada relasi manusia-teknologi ini dapat dicontohkan dalam sistem navigasional. Orang Barat mempunyai sistem yang baik untuk navigasi kapal, tapi tetap tidak bisa mentransfer teknologi navigasionalnya ke suku-suku di Pasifik Selatan. Artinya suku di Pasifik Selatan itu tetap tidak mengerti teknologi navigasional orang Barat yang bersifat hermeneutis / representasional (penggunaan kompas misalnya). Mereka tetap mempunyai teknologinya sendiri, seperti membaca arah lewat pola-pola ombak atau pola bintang-bintang (relasi kemenubuhan).
Gagasan determinisme teknologi tak dapat dimungkiri juga terkait dengan fenomena kesadaran dan relasinya dengan artifak-artifak teknik. Habermas misalnya melihat bahwa kemajuan teknik (teknologi) akhirnya menentukan kesadaran masyarakat modern. Self-understanding masyarakat modern tentang dunianya menurut Habermas dimediasikan oleh apropriasi hermeneutis terhadap budaya teknologi yang bergerak secara teleologis. Ini memberikan sebuah asumsi bahwa jaring-jaring logika teknik kemudian menjadi determinan utama kesadaran. Aksi-intensi kemudian ditentukan oleh logika dan hukum yang berlaku dalam duniateknologi.
Akibatnya menurut Habermas pengejawantahan rasio tersebut bersifat teknis, artinya dimensi praksis rasio adalah kegiatan produktif yang hanya mengungkapkan nilai-nilai efesien dan fungsional. Dimensi praksis rasio kemudian semata-mata dimengerti sebagai aplikasi teknis yang merupakan penerapan sains dan rasionalitas. Hal inilah yang kemudian menggejala dalam bentuk kontrol teknis terhadap alam. Sehingga tujuan utama pencerahan (emansipasi sosial ) terlupakan. Ilmu pengetahuan kemudian semata-mata dimengerti sebagai cara bagaimana mengontrol dan memanipulasi alam. Inilah yang membuat masyarakat modern tenggelam dan terarahkan oleh dimensi teknis dari pengetahuan. Padahal tujuan utama pencerahan adalah emansipasi sosial yang terkait dengan kesadaran bahwa lewat pengetahuan kita dapat melepaskan diri dari segala dogmatisme dan kepicikan.
Berbicara tentang teknologi dalam konteks filsafat tentu tak lepas dari persoalan bagaimana kita secara ontologis memahami dunia lewat instrumen teknik. Dalam nalar Heideggerian hal ini menyangkut bagaimana interaksi kita terhadap dunia dapat dijelaskan dan diatasi melalui instrumen.
Seperti kita ketahui pada zaman kuno dunia dijelaskan lewat mitos, manusia mengkonstruksikan sebuah sistem untuk menjelaskan dunianya lewatpengandaian-pengandaian mitologis. Sekarang manusia menggunakan atau menciptakan instrumen untuk menjelaskan dan memahami dunia. Instrumen teknologi secara perseptual kemudian merepresentasikan realitas. Kita menggunakan teropong (teleskop) untuk melihat benda-benda di kejauhan, termometer untuk mengukur suhu, atau mikroskop untuk melihat partikel-partikel yang tak dapat dilihat secara telanjang oleh mata. Dunia dihadirkan lewat instrumen teknologi.
Don Ihde membuat isitilah hermeneutika teknik untuk menjelaskan fenomena tersebut di atas. Menurutnya, teknologi itu sendiri adalah sebuah teks. Kita secara interpretif memahami dunia lewat artifak teknologi sebagai sebuah teks. Lebih jauh Hermenutika teknik adalah moda tentang bagaimana manusia menginterpretasikan, membaca, dan memahami dunianya lewat artifak teknologi. Misalnya pilot tidak melihat secara langsung dunia, melainkan membaca lewat panel kontrol. Manusia dalam hal ini menggambarkan dunia lewat sebuah teks atau instrumen teknologi.
Dalam hermenutika teknik juga dikenal relasi kemenubuhan. Ini berarti instrumen teknologi dipahami sebagai kepanjangan atau ekstensi dari fungsi tubuh. Artinya secara transparan dunia ditampilkan oleh instrumen. Tidak ada jarak antara manusia dengan teknologi dalam relasi kemenubuhan. Hal ini dapat di ilustrasikan demikian. Aku dan teknologi menjadi satu berhadapan dengan dunia. Jadi seperti seorang buta dengan tongkatnya. Teknologi adalah tongkat yang digunakan untuk membaca dan mengatasi dunia. (Aku-Tongkat)-Dunia. Relasi kemenubuhan dalam konteks teknologi adalah relasi yang telah ada sejak manusia primitif. Sejak manusia mulai membuat instrumen dari batu. Membuat instrumen untuk memperluas kemampuan atau fungsi organ-organ tubuhnya. Instrumen teknik adalah mimesis dari fungsi tubuh manusia.
Sekarang artifak teknologi telah meluas tidak hanya sebatas nilai efesiensi dan fungsionalitas. Teknologi baru yang berhubungan dengan dunia-kehidupan manusia sekarang terkait dengan nilai-nilai yang mengundung unsure permainan. Bahkan di negara kurang maju ia menjadi semacam perhiasan saja atau fashion. Misalnya ada suku-suku di Afrika yang tidak dapat menerima dan mengerti budaya jam, mereka kemudian menganggap jam tangan sebagai gelang perhiasan. Fungsionalitas jam tangan dalam hal ini tak dapat dimengerti.
Seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, dunia teknologi kemudian semakin sulit dimengerti. Artinya cara kerja/sistem (teknis) artifak teknologi itu dalam beberapa hal hanya dipahami oleh para ilmuwan atau teknisi saja. Sekarang artifak teknologi tidak lagi sebatas instrumen untuk membaca dan memahami dunia. Ia telah meluas dan membentuk dunianya sendiri. Yang teknis tidak lagi terkait dengan pengalaman konkret, seperti analogi tongkat di atas. Teknologi tidak hanya memberikan makna intrumental dan fungsional saja. Ia juga secara ontologis membentuk dunianya sendiri.
Dapat dikatakan dunia teknologi pada masa modern terbagi menjadi dua: dunia makna dan dunia teknis yang tersembunyi. Seperti yang ungkapkan oleh Dr. Karlina Supelli (dalam seminar terbatas “Technology and the Lifeworld“) bahwa ada pemilahan analitis dalam dunia-teknologi, yaitu ranah makna dan ranah teknis.      
Ranah teknis dapat dinterpretasikan sebagai dunia yang hanya dipahami dengan baik oleh oleh para teknisi. Misalnya kebanyakan orang tidak mengerti mengapa AC bisa membuat udara menjadi dingin atau mengapa besi bisa terbang di udara. Ini berbeda dengan dunia makna yang menjelaskan artifak teknologi sebatas fungsionalitasnya saja. Dengan kata lain instrumen tersebut sudah siap pakai. Kita tinggal menggunakannya saja, dalam beberapa hal kita tidak mempedulikan teknik atau cara kerjanya. Radio atau televisi dapat langsung kita nikmati, kita terkadang tidak menyadari bahwa di dalamnya ada dunia teknik yang bekerja. Dunia teknis kemudian menjadi dunia yang selalu terbungkus. Dunia yang makin lama makin sulit dimengerti, semakin asing.

3.      Filsafat Teknologi dan Filsafat Keteknikkimiaan
Dalam pikiran sebahagian orang secara umum, dia memetakan ilmu dan pengetahuan menjadi dua hal yang saling berkontradiksi. Jika kalau Ilmu itu datangnya dari sebuah penelitian atau eksperimen para ilmuan sedang Pengetahuan datangnnya dari Tuhan yang secara mutlak tidak dapat diganggu gugat kebenarannya. Pertanyaannya kemudian, jika memang kedua unsur ini merupakan dua hal yang berbeda, maka darimanakah kebenaran yang didapatkan oleh para ilmuan yang secara realitas merupakan sesuatu yang sangat jelas dengan berbagai pembuktian empirisnya yang rasional. Timbullah pertanyaan, Apakah benar 2 hal ini berbeda?ataukah kebenaran yang didapatkan dari Ilmu dan Pengetahuan berasal dari  sumber yang 2 sesuatu yang berbeda pula?dan jika kalau itu benar adanya, berarti di alam semesta ini terdapat 2 Tuhan yang berbeda dan mempunyai masing-masing kebenaran-kebenaran yang mutlak adanya dan dengan begitu maka runtuhlah sifat ke-Esaan Tuhan yang selama ini kita yakini.
Namun disini saya tidak akan membahas panjang lebar tentang ke-Esaan Tuhan, karena bagi penulis kebenaran Tuhan adalah sesuatu yang objektif ada-Nya yang tidak mungkin memiliki kebenaran yang saling bertentangan yang satu dengan yang lainnya Cuma pemikiran kita tentang diriNya yang masih mengandung sesuatu yang bersifat subjektif dari masing-masing individu seseorang. Oleh karena itu penulis ingin meluruskan pemikiran kita tentang keberadaan Ilmu dan Pengetahuan tersebut secara akal rasional dalam hal ini merupakan sesuatu yang hanya berasal dari 1 Unsur/Zat.
Bagi penulis perbedaan antara Ilmu dan Pengetahuan hanya berasal dari segi “Kata”saja, yang sebenarnya hanya memiliki satu makna yang sama. Kerancuan bahasa kitalah (bahasa Indonesia) yang menambah pertanyaan-pertanyaan tersebut, Mengapa kita  meyakini bahwa Ilmu dan Pengetahuan adalah sesuatu yang berbeda pada sisi Wujudnya. Oleh sebab itu, untuk membuktikan kebenaran argument ini, penulis akan mem”partisi-partisi”  Ilmu dan Pengetahuan itu dari subjek-subjekya agar lebih mudah untuk dicerna oleh keterbatasan pengetahuan kita. Dari sisi “ILMU”, kami akan membatasi hal ini dengan mengambil pemisalan dari bagian-bagian “ILMU” sendiri yang ada kaitannya dengan judul materi yang penulis paparkan diatas yaitu “Teknik Kimia”. Sedang dari sisi “PENGETAHUAN”, penulis akan mengambil pemisalan dengan pendekatan melalui jalan “FILSAFAT”.
Filsafat, dari pengertian bahasanya berasal dari bahasa latin,yaitu dari kata ”Philo” yang berarti Cinta dan “Sopia” yang berarti Bijak. Dan dari pengertian terminologinya adalah Filsafat merupakan salah satu media yang dapat dipakai seseorang untuk mengenal “suatu realitas” secara rasio dari sisi Cinta dengan sebuah keBijaksanaan. Plato, seorang filosof yunani mendefenisikan Filsafat sebagai sebuah cabang ilmu yang mempelajari tentang keberadaan atau sebuah realitas.
Sedang Teknik kimia, menurut McCabe merupakan salah satu bidang ilmu yang secara umum dapat disederhanakan menjadi sebuah ilmu & Seni yang berkaitan erat dengan proses-proses Industri, dimana bahan baku diubah atau dipisahkan menjadi produk yang bermanfaat.
Ada banyak hal yang bisa kita bahas tentang teknik kimia yang secara umum selalu dihubungkan dengan 2 bidang ilmu khusus yaitu “Fisika” dan “Kimia”. Memang dalam hal ini, teknik kimia merupakan bidang ilmu yang sangat luas jangkauannya namun disini kami tidak akan membahas tentang itu jauh lebih dalam karena kita semua dalam hal ini adalah seorang pelajar /mahasiswa teknik kimia, yang tentunya lebih mengetahui tentang ilmu-ilmu “keTeknikKimiaan”. Dan setiap harinya digeluti oleh problem-problem keTeknikKimiaan dan mungkin timbul dipikiran kita, alangkah bosannya kita untuk membahas hal itu saat ini. Benar tidak???
Sekarang ini kami akan membawa teman-teman dalam sesuatu yang baru yang mungkin akan membuka pemikiran kita akan realitas yang selama ini ada dihadapan kita namun belum terjamah oleh akal rasional kita. Semua itu mungkin disebabkan oleh tertutupnya rasio kita oleh sebuah hijab atau tameng keDuniaan yang sangat berbau paham materialisme yang semua pembuktian kebenarannya harus melalui cara-cara empiris. Hal ini erat hubungannya dengan awal pembahasan kita tadi yang telah membedakan antara Ilmu dan Pengetahuan tersebut. Ilmu dalam hal ini adalah sesuatu yang berbau empiris sedang pengetahuan adalah sesuatu yang bersifat fitrah yang tak ada ganggu gugat dari tangan manusia lagi didalamnya,dengan hal ini pembuktian kebenarannya.
Sebagai awal analogi, penulis akan menghubungkan sedikit pembahasan kita tentang sejarah kelam tentang Konflik masa lalu umat nasrani yaitu antara kubu “Gereja Katolik” dengan kubu “Ilmuan” yang diwakili oleh seorang ahli ……. Ternama yaitu Galileo Galilei.
Saat itu terjadi perdebatan yang sangat hebat mengenai keberadaan bumi dan matahari dalam posisinya sebagai pusat tata surya. Galileo meyakini bahwa matahari merupakan pusat tata surya sesuai dengan teorinya yang biasa kita kenal dengan nama teori “Heliosentris”, sedangkan pihak “Gereja Katolik” yang diwakili oleh Paus Urban VIII sebagai penguasa Gereja pada saat itu berpendapat sebaliknya bahwa Bumi adalah pusat tata surya yang dengan ini kita kenal dengan  teori “Geosentris”. Pihak “Gereja Katolik” saat itu, meyakini teori tersebut disebabkan oleh penafsiran literal Paus Urban VIII tentang Kitab Perjanjian Lama yang mengatakan bahwa bumi adalah pusat tata surya dan matahari adalah benda yang mengelilingi bumi, meski begitu Galileo tetap teguh dengan keyakinannya karena beliau telah melakukan pengamatan dan obaserfasi selama beberapa tahun dengan melihat sendiri aktifitas bumi maupun matahari dengan menggunakan teleskop sederhananya.
Pada waktu itu, Paus Urban VIII mengeluarkan sebuah larangan tentang pandangan Copernicus sesuai dengan Dekrit 1666 karena pandangan tersebut bertentangan dengan Kitab Perjanjian Lama dan itu memaksa Guru besar Galileo Galilei harus berhadapan dengan Hukum kota Vatikan yang dalam hal ini dikuasai oleh pihak “Gereja Katolik”. Dihadapan mahkamah tinggi “Inqisitor” kota Vatikan, Galileo pun dijatuhi hukuman mati meskipun ia telah menjelaskan teorinya dengan landasan-landasan ilmiah yang sudah terbukti dan dapat dipertanggungjawabkan. Namun majelis “Inqisitor” tetap menolak eksepsi Galileo tersebut.
Mungkin saat ini kita semua sudah dapat mengetahui kebenaran mutlak diantara teori “Geosentris” atau “Heliosentris”, namun pada zaman Galileo Galilei belum ada teknologi yang dapat mengungkap kebenaran tersebut meskipun pada saat itu Galileo sudah mempunyai sebuah teleskop sederhana. Dari cerita tersebut dapat kita simpulkan untuk sementara bahwa kebenaran yang berasal dari sebuah pengamatan adalah kebenaran yang mutlak adanya dan kebenaran yang berasal dari “Kitab Tuhan” ternyata masih bersifat subjektif. Benarkah demikian???
Seperti yang saat ini telah kita ketahui bersama, banyak sekali pengetahuan yang selama ini kita yakini ternyata “Palsu” adanya. Itu semua terbantahkan oleh kemajuan teknologi yang semakin pesat. Jadi bila seperti itu adanya, apakah semua pesan-pesan yang ada dalam “Kitab-kitab Tuhan” ternyata adalah salah. Semua itu hanyalah “Dongeng-dongeng” yang dihasilkan oleh imaginasi dari leluhur-leluhur kita dulu. Karena kebenaran yang kita yakini “dulu”, kini telah terkikis oleh terungkapnya sedikit demi sedikit Kebenaran yang mutlak oleh kemajuan Teknologi. Dari semua hal itu terjadilah kebimbangan dari remaja-remaja kita saat ini membuat bertambah labil keadaan psikologi mereka akan Keberadaan “Tuhan”.
Dari kondisi yang seperti inilah, makanya banyak remaja-remaja kita sekarang lebih cenderung untuk mempertuhankan “Teknologi” ketimbang memperTUHANkan hakikat Tuhan yang sebenarnya. Dan itu disebabkan karena keberadaan Tuhan yang selama ini disampaikan oleh orangtua-orangtua mereka telah runtuh oleh kemutlakan sebuah kebenaran yang diungkap dari Teknologi ketimbang kebenaran “Tuhan” yang ternyata hanyalah sebuah isapan jempol belaka. Namun pertanyaannya kemudian, benarkah seperti itu adanya?apakah selama ini kita hanya meyakini sebuah cerita-cerita fiksi masa lalu?
Disini kami akan meluruskan masalah tersebut dengan batasan pengetahuan yang kami miliki karena bagi kami hal itu merupakan sebuah hal yang sangat “Impotent” karena pembahasan tersebut membahas tentang landasan pemikiran kita selama ini. Walau begitu adanya, secara tidak sadar kita telah terhegemoni akan semua itu, Teknologi telah mengikis sedikit demi sedikit keyakinan kita selama ini dan menggantikannya dengan semua aktifitas yang dihasilkan dari sebuah teknologi. Akankah keyakinan yang kita anut selama ini hilang begitu saja dan takkan meninggalkan jejak sedikitpun? Dan apa ada yang salah dengan keyakinan kita itu? Mengapa dapat teruntuhkan dengan semudah itu? Dan dimanakah letak Kebenaran mutlak itu? Dimana “Tuhan” yang kita sembah dan agung-agungkan selama ini? Apa semua itu hanyalah aktifitas yang sia-sia saja?
Jawabannya adalah subjektif. Semuanya tergantung dari kita sendiri. Jikalau Tuhan menurut persepsi kita itu adalah sebuah subjektifitas maka, tuhan hanya tergantung siapa yang memikirkannya, dan jikalau seseorang tidak terpikir tentang tuhan maka wajar jika ia berkata bahwa tuhan itu “tidak ada”. Apakah argument tersebut sudah mewakili semua pengetahuan kita tentang Tuhan?atau hanya itu hanya bentuk keputusasaan kita yang tak dapat menjangkauNya.

Baca pula :

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan komentarnya dong...